Kebebasan Intelektual dalam Belajar. Kalau kita pernah belajar di Pondok Pesantren, maka kita akan mengenal apa yang disebut Panca Jiwa. Apa saja panca jiwa itu?, adalah keikhlasan, kesederhanaan, ukhwah Islamiyah, kemandirian dan kebebasan. Selanjutnya yang ingin ulas dalam tulisan ini salah satunya yang terakhir, yaitu membangun nilai kebebasan, dan yang dimaksud kebebesan disini, bukan kebebasan semaunya santri yang tanpa arah, namun yang dimaksud adalah kebebasan nilai yang harus dipertahankan dalam pendidikan. Kebebasan adalah salah satu syarat mutlak dalam pendidikan. Ia haruslah jaminan atas kebebasan berpikir manusia. Manusia dalam masyarakat tersebut tidaklah dapat mencapai inovasi pengetahuan dan penemuan-penemuan yang berguna untuk kemajuan masyarakat tanpa memiliki kebebasan.
Dapatkah Issac Newton terinspirasi untuk menemukan Hukum Newton ketika ia tidak sengaja sedang duduk-duduk di bawah pohon apel dan melihat buah apel jatuh ke tanah, bila ia tidak memiliki kebebasan berpikir? Kebebasan merupakan syarat mutlak untuk adanya suatu dialektika dalam proses pendidikan. Bila kita mengambil gambaran seperti dalam dialektika Hegel dimana pengetahuan diperoleh dari dialektika antara thesis dengan antithesis yang menghasilkan synthesis, kemudian synthesis ini kembali menjadi thesis dan dikritik dengan antithesis lagi menghasilkan synthesis yang baru dan seterusnya. Begitulah alur dari pengetahuan dimana ia merupakan rantai kritik yang panjang dan selalu diuji terus menerus.
Dalam mencapai proses dialektika ini sangat dibutuhkan sebuah nilai agar rantai kritik seperti di atas dapat tercapai. Kritik ini lah menjadi sumber tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang lama karena memiliki kesalahan dan kekurangan dikritik dengan pengetahuan baru yang diperoleh dari temuan-temuan baru. Sehingga makin banyaklah penemuan dan inovasi-inovasi pengetahuan yang telah ditemukan. Seperti halnya Albert Einstein dengan teori relativitas khusus-nya mengkritik teori gerak translasi Newton yang sudah dipercaya keabsahannya selama tiga abad. Begitu juga dalam pendidikan di banyak sekolah termasuk Pondok Pesantren, begitu sering guru memberikan begitu banyak pengetahuan tanpa ada hasrat sedikitpun dari peserta didik untuk menerimanya. Ini terjadi karena seorang murid dianggap layaknya sebuah gelas yang harus diisi dengan air pengetahuan oleh seorang guru. Makin banyak air pengetahuan yang diisi ke dalam gelas tersebut, makin banyaklah pengetahuan yang dimiliki. Maka wajarlah terjadi penolakan- penolakan dari sang murid karena keinginan eksplorasi sang anak dihalangi oleh tuntutan mata pelajaran yang banyak.
Seorang anak akibat dari pendidikan di sekolah menjadi mati pikirannya atau dalam istilah Alfred North Whitehead adalah inert ideas. Inert ideas adalah kondisi dimana aktivitas berpikir hanya menerima tanpa ada usaha pengujian, mencoba dan di feedback. Kondisi ini adalah kondisi yang sangat berbahaya, karena kondisi ini sama saja dengan membuat bodoh manusia dengan alat yang bernama sekolah. Kondisi ini biasa terjadi pada pendidikan dimana
pemimpin negaranya otoriter seperti halnya pernah terjadi di negara Indonesia pada jaman kekuasaan orde baru atau bisa juga saat ini yang semi demokrasi abu-abu.
Tiap revolusi intelektual yang dibawa oleh gerakan humanisme pada umumnya merupakan perlawanan terhadap inert ideas (A. N. Whitehead). Ini menunjukkan bahwa betapa pembunuhan terhadap kebebasan berpikir merupakan perlawanan terhadap humanisme. Kebebasan berpikir ini yang selalu diperjuangkan oleh intelektual terhadap kemapanan di masyarakat.
Awal dari pendidikan adalah kebebasan berpikir maka melalui pendidikan haruslah mampu memperkenalkan realitas di masyarakat. Pendidikan tidak bisa terpisahkan dari kenyataan di lingkungannya. Sebagai langkah awal dari metode ilmiah, mengenal dan memahami masalah yang ada di lingkungan merupakan tantangan yang dihadapi pendidikan. Sehingga melalui pendidikan manusia dibawa untuk mengeksplorasi alam semesta dengan kebebasannya dalam memandang alam itu sendiri karena sifat rasa ingin tahu adalah kelakuan alamiah manusia. Negara sebagai alat pemersatu wilayah dimana bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. Negara juga memuat aturan-aturan berupa hukum untuk menjamin hak-hak dari warga negara. Seperti halnya pendidikan, pendidikan haruslah dekat dengan realitas di masyarakat, maka negara tidaklah boleh mengintervensi ke dalam proses pendidikan. Pendidikan haruslah bebas dari pengaruh manapun dan negara harus menjamin kebebasan itu. Jadi, aturan-aturan negara dalam hal ini seperti Sistem Pendidikan Nasional harus menjamin hak-hak dan kebebasan berpikir warganya.
Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati 22 Oktober 2022, yang secara kebetulan di Ponpes Terpadu Al Musthafawiyah berlangsung Jambore Santri Nusantara (JSN) se- Kabupaten Bogor bekerjasama dengan RMI-NU Kab. Bogor merupakan momentum sebagai kebangkitan santri di seluruh Nusantara untuk kembali memperkuat barisan, bahwa santri memiliki peran besar dalam menghadirkan negara dan bangsa Indonesia saat ini dan kedepannya yang tentu semuanya itu atas dasar diharuskannya selalu mengasah kebebasan dalam cara beripikir yang selalu kreatif dan inovatif, sehingga para santri mampu bersaing baik dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi oleh nilai-nilai spiritual.
Megamendung, 26 Oktober 2022
Dr. Drs. Asep Kusnadi, M. Pd
Kabag. PSB dan Humas Ponpes Al-Musthafawiyah Bogor